Minggu, 30 November 2008

Buletin Edisi tiga

Opini


PENDIDIKAN DAN PEMANDIRIAN
Oleh Mortaza A. S. Hamma’da

Ibu-ibu berdiri di belakang kelas. Sebagian di antaranya berjejer dengan dagu menempel pada jendela di tembok kelas. Sesekali mereka bergantian duduk di bangku tukang kayu yang panjangnya dapat memuat 10 orang kurus. Usai duduk, mereka melongokkan wajah ke dalam kelas. Bahkan mereka kadang berebut tempat untuk dapat memandu anaknya yang sedang belajar, baik dengan isyarat tangan maupun dengan suara nyaring. Pemandangan ini bukan hanya pada hari pertama anak-anak itu masuk SD, bahkan pada hari-hari menjelang ulangan kenaikan kelas. Bukan hanya di Kelas I bahkan di kelas II dan III pun masih demikian.
Kejadian tersebut dituturkan oleh seorang ibu yang berasal dari pelosok desa dari luar Pulau Jawa yang pada tahun 2001 memasukkan anaknya ke sebuah sekolah di bilangan Jabotabek. Baginya, ini adalah hal baru. Berbeda dengan perilaku sekolah di pelosok desa tempatnya berasal. Anak-anak begitu mandiri. Bangun pagi, usai shalat subuh, mereka sudah melakukan tugas dengan membantu orang tua selama 10 – 15 menit di rumah dengan pekerjaan ringan seperti membuang sampah, menyapu lantai atau membersihkan jendela.
Usai sarapan, anak-anak itu menyiapkan diri dan berangkat ke sekolah. Sangat jarang mereka mengeluh dan meminta bantuan kecuali untuk hal-hal yang berat. Demikian pula tatkala pulang sekolah, mereka sudah mampu mengatur kegiatannya dan merencanakan jadual esok harinya. Jauh dari sifat manja. Memasuki bangku Kelas III, mereka sudah merasa malu untuk tidak dapat mencuci pakaiannya sendiri. Pada umumnya mereka tumbuh dengan keterampilan hidup (life skill) yang demikian tinggi sehingga sanggup menghadapi kerasnya tantangan hidup di usia dewasanya.
***

Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan penguasaan akademik, melainkan juga sebagai bentuk proses pembekalan atas anak untuk suatu capaian kepribadian yang utuh. Utuh artinya lengkap segala unsur yang menopang keunggulannya di masa depan. Benjamin Bloom, seorang pakar pendidikan Abad 20 memperkenalkan prinsip dasar pendidikan sebagai kesatuan yang utuh. Ketiga prinsip tersebut dikenal dengan Taksonomi Bloom.
Taksonomi Bloom mencakup ; pertama, Pengetahuan (aspek kognitif). Pendidikan harus dapat meningkatkan atau mengembangkan pengetahuan. Oleh sebab itu, kurikulum dirancang untuk mencapai tujuan ini. Secara sistematis materi-materi pembelajaran direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi serta dikembangkan guna menambah wawasan dan pengetahuan siswa.
Guna menambah khazanah pengetahuan siswa, dilakukan pula kompetisi-kompetisi berjenjang yang materinya terkait dengan pengasaan wawasan siswa. Hingga sekarang telah dikembangkan berbagai event, seperti; olimpiade-olimpiade, vestival-vestival, jamboree-jambore dan semacamnya.
Kedua, Sikap (aspek afektif). Pendidikan untuk mengasah sikap dan perilaku anak menjadi semakin baik. Guna mencapai maksud tersebut maka dikembangkan pembelajaran budi pekerti, pembiasaan atau pembudayaan suatu perilaku yang baik. Di sini diperlukan keteladanan baik dari guru maupun orang tua siswa. Teori ini dikembangkan dari kenyataan bahwa siswa masih berada pada level perkembangan psikologis yang cenderung meniru dari pada mencipta sendiri.
Ketiga, Keterampilan (aspek psikomotorik). Proses pendidikan harus mengembangkan kemampuan siswa dalam menguasai keahlian-keahlian tertentu berdasarkan minat dan bakatnya. Oleh sebab itu, dikembangkanlah kurikulum keahlian dan berbagai bentuki ekstra-kurikuler.
***

Tatangan pengelolaan pendidikan sejatinya berkisar pada tiga hal pokok tersebut di atas. Terutama dalam mengehntikan kekeliruan bahwa keberhasilan pendidikan adalah setelah prestasi kognitifnya melejit kencang, sambil mengabaikan aspek skill (keterampilan) dan faktor-faktor sikap.
Beberapa fakta keluaran pendidikan formal (SD, SMP, dan SMA), ketika sudah memasuki jenjang pendidikan tinggi dan dunia kerja ternyata mengalami kegamangan, meskipun Indeks Prestasinya (IP) tinggi. Kemampuan untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah-masalahnya tidak dapat dilakukan secara mandiri. Demikian juga kegamangan dalam menempatkan diri sebagai anggota masyarakat, membuat seorang sarjana hanya sibuk dengan urusannya sendiri tanpa sempat mengenal tetangganya, apalagi untuk membangun komunikasi produktif dengan masyarakat sekitarnya. Ini merupakan salah satu dampak pendidikan yang hanya difokuskan pada aspek kognitif.
Kehilangan kemandirian pada peserta didik adalah hal yang paling penting dirisaukan oleh setiap pendidik. Pendidik yang risau adalah mereka yang dapat membedakan saat mana seorang anak harus mendapat ketegasan dan saat mana harus menikmati kelembutan. Penting diingat, bahwa pendidik bukan hanya guru, tetapi juga orang tua. Pendidikan yang gagal melahirkan kemandirian adalah pendidikan melukis kesuraman masa depan anak. Wallahu A’lam.

2 komentar:

SMPISLAMAL-HIKMAH mengatakan...

Assalam wrwb semoga proses pendidikan di indonesia dapat membuahkan anak didik yang lebih mandiri dan tegar dalam menghadapi tantangan zaman di kemudian hari, kita yakin bahwa siswi SDIT Al Hikmah dapat mengahadapi tantangan zaman dengan survive, karena basic spiritual yang baik dan keimanan yang kokoh

SMPISLAMAL-HIKMAH mengatakan...

assalamualaikum wrwb, salam ta'zim tuk akhi mortaza smg tetap semngat dan gigih dlm dakwa fi tarbiyah dan selamat sdh mengambil program doktoral smg dpt bermanfaat tuk dien dan ummat scr baik, tp ingat jaga kesehatan dong jgn diporsir terus